"Sore, Pak. Boleh saya berbicara sebentar? Dengan Bapak saja?" tanya Rifti.
Sarwo memandang sekeliling. Tak terasa, sudah begitu sore. Anto kembali bekerja dari gunung. Dengan Karto sudah dipinjam, hanya sisa Johan, yang tampak sedang konsentrasi. Ia sendiri sudah menghabiskan dua jam terakhir untuk melakukan rancang ulang arsitektur program mereka, persiapan untuk membuka API. Yah, kenapa tidak?
Sarwo menarik sebuah kursi. Rifti duduk dan tersenyum. Sesekali ia dan Sarwo memang berbicara, cukup akrab, tapi tidak secara khusus seperti ini.
"Setelah magang ini selesai, saya ijin untuk tidak melanjutkan, Pak."
"Oh, kenapa?" Sarwo melihat kalender. Masa magang Rifti masih tersisa tiga minggu. Kemudian ia melihat daftar pekerjaan yang ditugaskan. Semua sudah diselesaikan dengan baik. Tepat waktu.
"Boleh saya jujur, Pak?"
"Lebih baik demikian, bukan?"
Rifti menarik napas panjang. Ia sudah mempersiapkan ini baik-baik.
"Begini, Pak. Saya ingin mencoba tantangan lain, Pak." Rifti menjawab, terlihat agak sungkan.
"Masih di bidang teknologi?"
"Iya, Pak. Tapi mungkin dengan pekerjaan yang lebih besar, scope-nya. Siapa tahu saya mampu, Pak," lanjut Rifti.
Sarwo memandang Rifti. Umur mereka terpaut hampir 20 tahun. Sebentar lagi, ia akan lulus kuliah. Selama bekerja, secara mengagumkan, ia bisa melengkapi tim mereka. Beberapa kali ia mengatakan sangat berat, apalagi karena harus sambil menyelesaikan skripsinya.
"Apakah ada kendala dari Johan?" Johan selalu memuji kecantikan Rifti, walau tampaknya tidak ada usaha lebih jauh dari itu. Sarwo mencoba mencairkan suasana.
"Hahaha, tidak ada dong, Pak."
"Scope lebih besar itu, saya asumsikan di perusahaan besar?"
"Iya, Pak."
Dengan belasan tahun pengalaman dan beberapa kesempatan melayani perusahaan besar, ia memahami ini. Beberapa teman akrabnya pun memilih berkarir di perusahaan teknologi besar. Prestise. Lalu, jaminan. Dan setidaknya ada peluang karir.
"Baik, Rifti. Saya bisa memahami. Lebih penting lagi, Rifti punya kemampuan. Saya berharap yang terbaik, ya."
"Terima kasih, Pak."
"Semua surat keterangan kerja, dan rekomendasi, akan segera saya siapkan. Hari senin nanti sudah bisa diambil."
"Baik, Pak."
Sarwo memandang ke luar jendela. Langit sudah berubah gelap. Tampak beberapa bintang. Ia memang bukan Johan, yang selalu memuji Rifti. Tapi, mungkin sesekali ia harus jujur juga.
"Rifti, suatu hari kamu akan menjadi bintang. Yang bersinar."
"Hahaha, ga bisa Pak, kalau jadi bintang. Kejauhan di langit."
"Ah, langitnya yang akan pindah kalau begitu."
"Busyet. Bisa gitu, Pak. Ha ha ha."
"Untuk Rifti, sang bintang, bagaimana mungkin langit tidak mau berpindah?"
"Bapak bisa saja..."
Pembicaraan pun berakhir. Ini sudah lewat jam kerja. Rifti pamit. Sarwo kemudian berbicara dengan Johan, yang merasa sangat kehilangan. Sarwo pun kehilangan. Siapa yang tidak kehilangan? Mungkin Karto. Tapi ia sedang tenggelam dalam paper. Mungkin juga Anto. Tapi ia mungkin sedang menikmati awan dan kehidupan di gunung.
Tadinya, Sarwo ingin membicarakan rencana layanan baru mereka. Tapi, sudahlah. Tidak perlu menambah beban yang sudah ada, di sore ini. Ia harus lebih bisa menahan diri.
Ray Tampan memandang ke luar dari kantornya yang terletak di lantai 6. Ia menyukai pemandangan ini. Gedung lain yang lebih tinggi, kesibukan di jalanan, dan lampu-lampu ketika menjelang sore. Suatu hari, ia mungkin akan pindah ke gedung yang lebih tinggi. Mungkin lebih luas. Mungkin lebih dekat lagi ke pusat bisnis.
Mereka telah menempati bagian dari lantai ini selama beberapa tahun. Sebelumnya, mereka menempati sebuah ruko tiga lantai, yang disewa setiap dua tahun, dan telah diperpanjang berkali-kali. Sebelum pindah ke gedung kantor, ia sempat mempertimbangkan untuk membeli sendiri sebuah ruko, mungkin di pinggir jalan tol Jakarta-Tangerang, sambil memajang nama usahanya di lantai yang paling tinggi.
Tapi Ray Tampan, selain tampan dan punya visi, juga realistis. Pertama, ia ingin menggunakan modal yang ada untuk berkembang. Selain itu, timnya sudah melakukan riset. Semakin banyak lulusan baru yang membutuhkan prestise. Lebih penting lagi, portofolio perusahaannya akan berkembang dengan client-client potensial yang pasti ada di sekeliling mereka. Selalu ada peluang. Pada waktu yang tepat, ia akan mencari investor.
Ruang kantornya ada di sudut, cukup untuk menampung meja yang besar, dengan beberapa kursi yang nyaman. Kalau bisa, ia lebih suka rapat kecil di ruangannya. Di sudut ruangan, terdapat lemari buku kecil. Buku-buku teknis yang tebal masih tersimpan rapi. Walau, buku-buku bisnis mulai berdesakan masuk. Belakangan ini, Ray Tampan memang lebih sering menghadiri acara bisnis ketimbang konferensi teknis. Urusan teknis adalah urusan si keren.
Visi terbarunya adalah menghubungkan--dengan tepat--talenta muda dengan perusahaan yang membutuhkan. Ini bukan ide baru. Setidaknya, ia tidak perlu melakukan edukasi pasar. Sebagian dari ribuan lulusan baru akan meniti karir. Perusahaan akan selalu membutuhkan mereka. Kampus akan memfasilitasi. Layanan pencarian lowongan kerja akan sangat membantu. Tapi Ray Tampan memikirkan sesuatu yang lebih.
Oleh karena itulah, di sore ini, Dr. Julbintor--yang lebih akrab dipanggil Itor--ada di ruangannya. Itor adalah ahli di bidang manajemen, dengan latar belakang teknis yang mumpuni dan pengalaman yang luas. Ia juga mengajar di beberapa kampus. Berbeda dengan Ray, ia berhati-hati dalam menjalankan visi Ray. "Ngeri," katanya selalu, ketika mendengar Ray mulai memikirkan ini dan itu.
"Bagaimana dengan tim baru kita?" tanya Ray, langsung ke pokok pembahasan.
"Kita sudah siapkan beberapa data scientist, lalu tim kecil untuk persiapan produk. Dari sisi infrastruktur, kita akan gunakan cloud yang ada. Mereka sudah siap. Tapi, kita perlu pikirkan ulang, Ray."
"Sudah kok. Tolong panggil mereka." Tentu saja Ray sudah memikirkannya, batin Itor.
Dalam bayangan Itor, ide Ray untuk menghubungkan 'dengan tepat' adalah kuncinya. Beberapa tahun terakhir, mereka mulai merekrut data scientist. Memahami pemrograman dan ilmu komputer, namun dengan kemampuan matematika dan statistika yang lebih menonjol. Apabila tim programmer sibuk membicarakan bahasa pemrograman, database, cloud, bug, dan urusan semacam itu, mereka membicarakan aljabar linear, statistik, probabilitas, hipotesis, regresi, machine learning, neural network, deep learning, atau apapun yang tidak terlalu dihiraukan Ray saat ini--ia terlalu sibuk.
Untuk proyek yang ini, Itor mengajak Dinaka dan Michelle Aurelia, data scientist junior yang baru bergabung. Dalam pandangan Itor, keduanya akan menjadi data scientist yang hebat di masa depan. Keduanya juga rutin berbelanja online. Tapi kalau urusan kerja, mereka bisa diacungkan jempol. Dan, mereka tentunya lebih kurang memahami dunia lulusan baru.
Itor juga sudah merancang agar keseluruhan layanan mereka dijalankan lewat cloud. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi melakukan colocation--menempatkan komputer server mereka sendiri di data center. Untuk database, mereka akan gunakan layanan Database as a Service, dimana pengelolaan sistem database dilakukan oleh penyedia cloud. Untuk komputasi, mereka juga akan menggunakan mesin virtual dimana spesifikasi prosesor (CPU) dan memori (RAM) dapat diatur secara dinamis. Mungkin mereka akan gunakan juga layanan Function as a service, sehingga tim mereka dapat bekerja, fokus pada fungsi-fungsi yang akan disediakan oleh layanan mereka, dengan teknologi yang mungkin berbeda-beda. Mereka bisa membiayai ini. Itor adalah arsitek yang handal. Dan ia tahu kapan harus bertindak tepat.
Untuk urusan cloud dan pengembangan prototipe layanannya, ia mengajak Daniel, yang mengurus cloud dan backend. Untuk urusan frontend, ia akan mengajak Michelle William Tanoto dan Dewi Ismaneti. Yang terakhir ini sebenarnya menolak.
"Pak Itor, kalau bisa, saya tidak ikutan deh. Kalau sama Pak Ray, proyeknya selalu aneh-aneh. Saya kalau bisa mau tidur cukup, Pak. Menikmati weekend dan hari-hari yang bahagia." Tentu saja Itor tidak mengabulkan ini.
"Apa? Daniel memikirkan backend, Michelle memikirkan frontend, dan kamu hanya memikirkan weekend?"
Michelle William Tanoto, yang duduk di samping Dewi, hanya mendengar dan sesekali tersenyum, senang membayangkan ia tidak harus merancang sisi frontend sendirian di awal. Frontend adalah apa yang dilihat oleh pengguna. Skema warna memegang peranan penting. Demikian juga dengan tampilan secara umum, supaya pengguna merasa nyaman. Masalahnya, ia sesekali kebingungan sehingga kemudian pada akhirnya akan merancang tampilan dengan beberapa skema warna. Dewi kadangkala memberikan masukan yang tepat.
Daniel, yang mengurusi backend, tidak keberatan sama sekali. Sisi backend adalah passion-nya. Bagaimana supaya layanan bisa bekerja dengan baik, bahkan ketika ramai digunakan. Dengan senang hati ia akan merancang arsitektur layanannya. Ia harus mendapatkan persetujuan dari atasannya, tapi ia belum pernah mendapatkan kesempatan sebesar ini.
Ditempatkan dengan tim yang sama dengan Dewi dan Michelle William Tanoto saja sudah menyenangkan bagi dirinya. Keduanya cantik walau agak sedikit konyol.
Keenam orang ini duduk di ruangan Ray. Ray Tampan memang tidak menerapkan prosedur tertentu untuk ketemu dengan dirinya. Dan sesekali ia masih mencampuri urusan detil--yang kadang disesalinya.
Ia menjelaskan bahwa kode nama layanannya adalah magang. "Jelek sekali namanya," bisik Michelle William Tanoto ke Dewi. Rupanya terdengar oleh Ray. "Kita bisa ganti nanti, kok," katanya sambil tersenyum.
Menurut Ray Tampan, mereka berharap bisa mendapatkan minimum 3.000 lulusan baru di tahun pertama, yang akan bergabung ke mereka. Spesifik di lulusan ilmu komputer dulu, di kota besar dulu. Tahun kedua, mereka harus naikkan lagi. Di atas kertas, ketika baru lulus, kemampuan mereka bisa bagus, sudah melewati tahapan magang, tapi kadang potensi sesungguhnya belum muncul. Jadi, kita akan lakukan assessment. Berikan mereka 1.000 pertanyaan dan cocokkan dengan pola yang ada.
Sampai di sana, Itor terpaksa menghentikan sebentar. Ia yang harus bertanggung jawab untuk proyek ini.
"Seribu pertanyaan ini beneran, Ray?"
"Yah, tidak juga sih. Dinaka dan Michelle Aurelia saja yang atur."
"Nanti kita bisa berikan rekomendasi, benar, Pak Ray?" tanya Dinaka.
"Betul sekali, Dinaka. Pada dasarnya, kita akan memberikan rekomendasi ke mereka. Kadang, mereka mungkin tidak tahu mau jadi apa. Seiring waktu, perusahaan pengguna layanan ini dapat melihat lebih rinci dan akan menghargai apa yang kita sediakan. Kalian bayangkan datanya. Bisa dapat apa dari sana. Ha ha ha ha."
Ray Tampan membayangkan peluang pertumbuhan. Itor memikirkan langkah-langkah konkritnya. Dinaka dan Michelle Aurelia membayangkan data, model, multiple regression, dan decision tree. Daniel membayangkan arsitektur layanan dan kerjasama dengan Dewi Ismaneti dan Michelle William Tanoto. Kedua yang terakhir ini membayangkan nama layanan yang lebih menarik, dengan aplikasi mobile dan web yang nyaman digunakan.
"Tiga bulan, kita harus punya Minimum Viable Product." Versi awal produk dengan fitur yang dapat diuji oleh pengguna awal.
Sebagian lamunan dan bayangan mereka segera sirna. Dewi kembali membayangkan weekend-nya yang mungkin hilang.
Acara perpisahan dengan Rifti berlangsung dengan lancar. Mereka memesan tempat di restoran dan kali ini, Rifti tidak memikirkan kalori--walau tetap makan secukupnya. Berkali-kali, mereka saling mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk tetap berkomunikasi. Setahunan terakhir ini sungguh berkesan.
Dengan tim yang tersisa, mereka kembali ke rutinitas sehari-hari.
Johan mencoba menjajaki kerjasama dengan beberapa perusahaan alat kesehatan, dalam rangka integrasi dengan program yang mereka kembangkan. Untuk itu, ia harus terbang ke beberapa kota.
"Bagaimana dengan tim baru kita?" tanya Johan.
"Kita akan membutuhkan tim baru yang lebih lincah. Aku harus pergi-pergi. Kalau Anto ke gunung lagi, maka sisa Sarwo di kantor. Ini tidak mungkin."
"Sejujurnya, aku belum tahu sih. Beberapa waktu lalu, pas merancang ulang arsitektur program kita, kayaknya lambat sekali geraknya. Rasanya, pertama kita buat, cepat sekali ya progress-nya." Sarwo menanggapi.
"Liburan sebentar, gimana? Coba untuk kerja juga dari gunung. Kita bisa ambil libur beberapa hari," usul Anto.
"Usul yang bagus, Anto. Pergilah sama Sarwo. Sementara, aku jaga kantor. Sambil persiapan kerjasama."
Dengan Johan yang akan terbang ke berbagai kota, dan Anto yang belakangan rasanya semakin sering kerja dari gunung, Sarwo merasa usul ini ada gunanya. Ia sudah lupa kapan terakhir ia libur. Atau setidaknya, sekedar keluar dari rutinitas.
Maka, di hari senin, subuh-subuh, Anto sudah sampai di rumah Sarwo. Ia yang akan menyetir. Katanya, ini liburan untuk Sarwo. Jadi, cukup duduk dan menikmati pemandangan saja, Bos.
Sarwo duduk, melempar tas ke kursi belakang, kemudian mengatur posisi kursi. Mereka pun melanjutkan perjalanan sambil sesekali bercerita. Tidak banyak yang bisa dilihat karena hari masih gelap.
Anto mengatur kecepatan di 70 kilometer per jam begitu sudah di jalan tol layang ke arah Cikampek. Mereka masih harus menempuh lebih dari 300 kilometer lagi untuk sampai di Pekalongan. Sarwo melihat angka ini dan cukup kagum. Anto memang bukan programmer teladan. Gaya pemrogramannya lebih seperti orang yang terburu-buru: memberikan nama variabel yang singkat-singkat, seringkali tanpa dokumentasi pada kode program, dan kadangkala, seperti tidak memahami tata cara pemrograman berorientasi obyek. Tapi rupanya ia taat aturan berlalu lintas. Mungkin terlalu taat.
Tidak. Sarwo tidak lapar. Kalau sang supir masih mampu, mari singgah di tempat istirahat setelah 100 km lagi. Kecuali kalau mau gantian menyetir. Begitulah, sepanjang jalan, Sarwo dihujani dengan cerita seputar tanaman singkong, lalu jagung, kemudian kentang. Setiap kali melihat area persawahan atau perkebunan, cerita ini dimulai lagi.
Setelah singgah di beberapa tempat istirahat, tengah hari, mereka pun sampai di Pekalongan. Apakah Sarwo ingin membeli baju batik? Boleh. Jadi, mereka pun membeli sedikit. Dieng adalah tempat favorit Anto. Kali ini mereka akan lewat Batang, jalan raya pantura, dan sejumlah jalan kecil. Jagung di sisi kiri dan kanan jalan. Selama perjalanan, beberapa kali mereka menjumpai hujan deras. Seringkali mereka harus jalan dengan perlahan karena awan tebal. Tidak ada yang terburu-buru. Kemudian, jam 3 sore, mereka sampai di kawasan candi. Hujan masih rintik-rintik.
Mereka melihat-lihat sebentar sambil mengagumi pemandangan. Berikutnya, mereka akan melanjutkan ke Wonosobo. Hujan deras sesekali. Kemudian mereka singgah membeli kentang. Berkilo-kilo, seolah mereka akan makan kentang setiap saat.
"Ada teman di Wonosobo. Nanti aku kenalkan."
"Yah nantilah."
"OK."
Tidak berapa lama, mereka pun sampai di keramaian dan menyempatkan diri makan. Hari masih belum gelap ketika mereka sampai di rumah teman Anto. Sayangnya, Sarwo harus menerima telepon. Nanti ia menyusul, janjinya.
Sambil berbicara di telepon, Sarwo mengamati dari dalam mobil ketika akhirnya mereka keluar dari rumah. Gadis yang sungguh manis. Ekspresinya. Senyumnya. Caranya memandang. Sungguh luar biasa.
Telepon itu belum berhenti ketika Anto kembali ke mobil. Sarwo pun membuka kaca, melambaikan tangan dan tersenyum.
"Besok kembali lagi!" teriak Anto. Dibalas dengan anggukan dan senyuman.
Setelah beberapa saat perjalanan, akhirnya telepon itu berhenti.
"Jadi, seorang teman, ha? Ini alasan kamu kerja dari gunung?"
"Ha ha ha." Anto hanya ketawa saja.
Setelah sampai di penginapan, istirahat, dan mandi sebentar di kamar masing-masing, mereka ketemu lagi di taman.
"Sarwo, begini. Mungkin aku akan lebih sering di sini. Cuacanya, pemandangannya, kentangnya."
"Dan seorang teman?"
"Ya."
Tarikan napas panjang. Lalu hening. Lalu, napas panjang lagi.
"Tapi masih gabung di bakwan kan?" Sesekali, Sarwo menyebut perusahaan mereka dengan sekedar bakwan. Lebih singkat.
"Setidaknya dalam enam bulan, iya. Ada beberapa hal sih."
"Bantu-bantu lah ya? Kita berubah terlalu banyak, belakangan."
"Tentu. Pasti. Satu dua hari ini, kita jalan-jalan lagi ya."
Rencana jalan-jalan pun dibuat.
Jadi, Sarah pergi. Karto dipinjam. Rifti pergi. Anto mungkin enam bulan lagi akan pergi. Sementara, Johan kelihatannya menyimpan rahasia tertentu.