Ruang kantor itu tidak besar, namun cukup untuk menampung lima staf dengan leluasa. Masing-masing memiliki sebuah meja dengan lebar 1,8 meter, satu kursi kulit imitasi, dan setidaknya satu monitor di atas meja. Meja-meja tersebut disusun berseberangan, sehingga bicara cukup dilakukan dengan saling teriak. Tidak ada yang formal di ruangan itu. Di sudut ruangan, terdapat lemari yang digunakan untuk menyimpan suku cadang komputer, sejumlah DVD dan brosur produk, dan segala sesuatu yang tidak terpakai--namun tidak rela untuk dibuang. Di samping lemari beberapa kursi disusun secara sembarangan.
Di seberang ruangan, sebuah papan tulis besar dipasang begitu saja ke dinding. Pada masa-masa awalnya, papan tulis tersebut adalah tempat ide-ide ditulis. Masing-masing staf memiliki sedikit tempat di pojok papan untuk menulis apapun yang mereka inginkan. Sekarang, papan tulis tersebut hampir selalu kosong. Ide-ide lebih sering disampaikan lewat chatting. Sesekali, sinar dari proyektor menyinari bagian dari papan tersebut.
Sarwo duduk tidak jauh dari papan tulis tersebut. Sebagai pendiri perusahaan, ia kerja setidaknya 12 jam per hari, merangkap sana sini, sambil memberikan tugas ke siapapun yang cukup tidak beruntung ketika tugas tersebut muncul di kepalanya. Ia juga yang paling banyak menulis di papan tulis. Ketika sesekali proyektor digunakan, ia paling sibuk mondar mandir. Menghindari pancaran dari mesin proyektor, katanya. Padahal mesin tersebut tidak berpindah. Mondar mandir jelas tidak diperlukan.
Perusahaan tidak pernah berkembang pesat, namun pemasukannya cukup untuk membayar tagihan dan membagi rata di antara total empat staf tetap yang tersisa, ditambah bagian untuk kantor. Sarwo merancang sistem ini karena mustahil mempertahankan tim yang loyal dengan gaji standar. Bagian untuk kantor tidak selalu jelas, tapi Sarwo selalu punya alasan. "Untuk pengeluaran tambahan dan masa-masa sulit," katanya. Begitulah, masing-masing staf tetap mendapatkan jaminan gaji sesuai upah minimum, ditambah komisi per bulan yang kadang sebesar gaji, sedikit tunjangan, serta bonus tahunan yang kadang lumayan.
Perusahaan juga tidak pernah mengalami masalah berarti, sampai beberapa tahun yang lalu, Sarwo mengubah nama legal perusahaan menjadi Bakwan Pangsit Perkedel, dan menggunakan kata bakwan dalam nama domain perusahaan. Sebagai perusahaan pengembangan software bisnis, nama perusahaan tersebut jelas tidak mencerminkan unsur teknologi, kecuali tulisan 'it' di pangsit.
"Nama perusahaan ini memalukan, menyusahkan, dan tidak masuk akal," demikianlah selalu Johan berkicau ketika pulang dari presentasi di client. Johan--sang General Manager--adalah yang paling menguasai sisi bisnis, yang selalu merasa salah jalan berkarir di perusahaan teknologi, dan sudah berkali-kali mengancam untuk mundur setiap harus memulai presentasi dengan "Kami, dari Bakwan Pangsit Perkedel,..."
"Tidak ada yang salah dengan nama perusahaan. Semua adalah nama makanan enak. Kalau mau mundur, tolong tunggu, sampai kita dapat staf baru," demikianlah juga selalu jawaban dari Sarwo. Lama-lama, kicauan, ancaman, dan jawaban ini menjadi sekedar rutinitas. Ketika melihat software yang dibuat digunakan oleh client, untuk mendukung operasional bisnis mereka sehari-hari, kadang terselip rasa bangga.
Jabatan General Manager Johan jelas berlebihan. Seolah ada sepasukan manager yang akan melapor ke dirinya. Tapi Johan jugalah yang membantu menjalankan perusahaan. Ide-idenya praktis, realistis, dan kadang cemerlang. Rambut yang senantiasa disisir rapi juga kadang membantu ketika presentasi ke client. Bicaranya selalu tertata baik, jelas, dan tenang.
Langkah Johan setahun yang lalu juga tepat. Ia membuka lowongan untuk staf magang dan setelah beberapa kali seleksi dari sedikit yang melamar, Rifti Dwi bergabung untuk urusan analisis kebutuhan teknologi yang dikembangkan. Semua staf bertaruh seberapa cepat Rifti akan mengundurkan diri. Tapi, rupanya ia bertahan juga sampai hampir setahun. Dengan nilai kuliah yang menonjol, tata bahasa yang baik, sikap yang sopan, dan sedikit sikap iseng khas usia awal 20-an, Rifti memikat semua staf di kantor. Apalagi, Johan selalu menganggap Rifti adalah orang paling cantik yang pernah dikenal. Diam-diam, Sarwo setuju.
Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Rifti ketika sesekali harus memulai presentasi dengan menyebut nama perusahaan. Mungkin sikap sopannya dan pemikiran usia mudanya menjadikan ini bukan masalah besar. Sekian waktu berlalu, tidak ada lagi yang mengganggap Rifti sebagai staf magang. Belum ada yang memenangkan taruhan kapan Rifti akan mengundurkan diri. "Nyaman kok kerja di sini, " demikian Rifti selalu menjawab. Anak muda yang sungguh sopan.
Tanpa pernah mengungkapkan alasan sesungguhnya, enam bulan lalu, Sarwo merasa perlu untuk mengajak Sarah bergabung. "Kita butuh pemikiran jaman sekarang, kita butuh penyegaran dari user interface yang terlalu kuno, dan kita butuh Sarah kalau Johan resign." Alasan-alasan seperti ini sudah seringkali terucap dari Sarwo. Tidak ada yang tertarik untuk mendebat ini. Biarkan dia senang sejenak, dan ia akan berhenti merepotkan semua orang.
"Kasihan. Sarwo terlalu banyak punya ide aneh." Johan berbisik ke Rifti, yang duduk di meja samping.
"Kasihan siapa?" Memandang sekilas, Rifti memancing, "tentu saja kasihan kita semua, ha ha ha."
Menurut Sarwo, Sarah adalah orang yang hanya bisa ditemukan sekali dalam 20 tahun. "Kenal Sarah sejak enam bulan lalu ketika sedang training. Sedikit pemalu, tapi pintar. Sarah juga bisa menggambar, memahami user interface, dan menulis. Sarah bahkan menulis kata 'email' dengan huruf miring." Sarwo melirik Rifti, yang hanya tersenyum. Yang lain ikut melirik. Senyum lebih lebar. Sungguh cantik. Bagaimana bisa orang secantik ini ada di sini.
"Bagaimana?" Sarwo melempar pertanyaan ke Anto, yang duduk di seberang meja. Anto menulis sebagian besar dari software yang mereka kembangkan dan pada dasarnya mengharapkan sebanyak mungkin bantuan di sisi teknis dan menulis dokumentasi teknis. Bukan di sisi bisnis. Dibanding Johan, Anto punya beberapa pemikiran yang sama dengan Sarwo. Setidaknya, ukuran perut mereka berkembang seiring waktu berjalan. Sama-sama suka singkong goreng. Sama-sama menyukai software yang kompatibel dengan sebanyak mungkin sistem.
"Pasti asik kalau Sarah bisa bantu pikirin ini." Antusiasme yang jelas terasa. Sarwo mengangguk-angguk dan membalas dengan senyum lebar. Kita selalu sepakat, katanya dalam hati, diam-diam bersyukur.
Staf terakhir yang belum memberikan pendapat adalah Dr. Karto Iskandar, yang menyukai apapun yang serumit mungkin, yang sejalan dengan riset dan dunia akademik. Lulusan cum laude doktor ilmu komputer ini yang memastikan apa yang dihasilkan sudah melalui riset yang memadai. Pada dasarnya, Karto paling banyak merepotkan ketika pengembangan produk, dan Sarwo butuh dukungannya.
"Ga peduli. Yang penting bisa bantu riset dan rangkum jurnal," kata Karto.
"Thanks, " balas Sarwo.
"Okeee, " kata Rifti, menimpali.
Anto tersenyum, merancang pembagian tugas.
Johan mengangguk, dengan pikiran melayang.
Semua sudah setuju. Sarah akan dijadwalkan untuk presentasi di hari Senin.
Enam bulan lalu, Sarah presentasi. Seharusnya ini adalah hal yang biasa. Staf baru selalu diharapkan bisa presentasi, sebagai latihan untuk presentasi ke client. Tapi, tak disangka, Sarah mengubah banyak hal. Perusahaan yang awalnya membosankan, menjadi hidup dan bergairah. Konflik yang sebatas cekcok biasa, menjadi rumit. Sarwo menjadi lebih diam, lebih realistis, dan berpikir dulu sebelum berbicara.
Suatu hari yang mendung, enam bulan lalu. Ini adalah hari senin dan Sarwo sudah berkoar-koar mewajibkan semua untuk menghadiri presentasi Sarah.
Sarwo berharap mereka semua mau serius mengikuti presentasi ini. Bagi Sarah, ini juga penting. Kalau tidak bisa presentasi ke lima orang, bagaimana bisa presentasi di depan client yang hanya punya sedikit waktu dan mengharapkan presentasi tanpa cacat?
Jam baru menunjukkan pukul enam kurang sedikit. Sarwo merasa lapar. Ukuran celana dan bajunya memang sudah perlu diganti tapi itu bisa menyusul. Dasar singkong goreng dan bakwan, pikirnya, ketika melewati stand gorengan.
"Singkong goreng yang biasa ya, Pak. Yang panas dan merekah!" Sarwo membayar, menerima kembalian, dan segera masuk ke kantor. Tidak ada yang datang sepagi ini. Dihidupkannya penyejuk udara dan mulai menikmati aktifitas sebagian orang yang baru memulai hari di jalanan. Sebagian tentu sudah memulai lebih pagi. Tidur adalah sesuatu yang berharga di kota besar seperti ini.
"Pagi, Sarwo," sapa Anto dan langsung melahap sepotong singkong. Ia juga suka datang pagi, namun memilih pulang cepat. Sebagai tim kecil, mereka sepakat kalau bisa kerja dari mana saja. Terakhir, tempat kerja favoritnya adalah di Dieng, dalam suhu 15 Celcius, jelas tidak perlu pendingin ruangan. Pulangnya, membawakan kentang dan cabai khas untuk semua orang di kantor.
Johan hadir tak lama kemudian dan mencomot singkong terakhir yang ada di piring. Karto dan Rifti mengekor. Karto sudah sarapan dan Rifti menolak segala sesuatu yang mengandung banyak minyak dan gula, dan yang tidak menampilkan informasi nilai gizi dan kalori.
Jam 8.30, semua sudah siap.
Sarah hadir tanpa suara mencolok, dengan atasan putih, rambut di tata rapi, sedikit riasan tipis, dan kesan yang tak akan terlupakan. Melihatnya hadir langsung setelah sekian lama tidak berjumpa, membuat Sarwo membayangkan ketika training Java beberapa waktu lalu. Sebagai trainer, sesekali ia suka membuat profil peserta. Siapa yang memang bisa, siapa yang lumayan, dan siapa yang jelas ingin secepatnya selesai.
Sarah mendapatkan nilai tinggi, seperti sudah diduga dari beberapa kali mengamati. Training pemrograman tentu berbeda dengan kalau benar-benar membuat produk yang akan jalan di production. Tapi, bagaimana kalau...
"Pagi, Pak!" Sarah menyapa dalam kecepatan tinggi, menyelesaikan sapaan kurang dari setengah detik. Kalau tidak didengar baik-baik, sapaan ini hanya akan terdengar seperti 'Pak'. Apakah Sarah mengira kalau mereka semua sedang dalam sesi latihan fisik?
Presentasi dimulai dengan canggung dan Sarah jelas panik.
Materi presentasinya sendiri tidak masalah.
Seperti burung, Sarah berkicau dengan cepat, "Saat ini, kebanyakan orang mengakses internet lewat mobile. Data dari APJII, pada tahun 2020, dari populasi 266,9 juta penduduk Indonesia, terdapat 196,7 juta pengguna Internet, dengan 97,1 persen mengakses Internet lewat operator seluler."
Sarwo melirik Karto, yang menganggukkan kepala sesering mungkin, mengagumi sederet fakta yang disampaikan. Bagus untuk permulaan, tapi perlu didalami lagi.
Sarah mengakhiri, "jadi, untuk aplikasi web yang Bapak dan Ibu kembangkan, sudah harus menggunakan desain yang responsif. Satu basis kode untuk tampilan yang tampak bagus di berbagai device, dengan berbagai ukuran layar berbeda. Ini akan lebih murah dan mudah dimaintain." Beberapa kepala terangguk lagi.
Sarwo sendiri mempertanyakan apakah Sarah nyaman untuk ikut dalam pengembangan aplikasi mobile, web, dan desktop dengan apapun teknologi yang dirasa cocok.
"Saya akan belajar, Pak."
"Berapa lama?"
"Tiga bulan, Pak."
Sebagai tim yang telah berjalan selama lebih dari 10 tahun, mereka mengikuti berbagai perkembangan teknologi tersebut tapi keasyikan dengan apa yang ada. Dengan beberapa produk software yang telah dikembangkan, mereka paham bahwa menulis ulang program tanpa manfaat tertentu akan menghabiskan biaya yang tidak perlu. Mereka juga paham bahwa menyerahkan tugas ini ke Sarah juga tidak fair. Dan, waktu tiga bulan mungkin terlalu cepat.
Tapi, setidaknya, semangat yang Sarah bawa telah membawa tim kecil ini ke belasan tahun lalu, ketika mereka masih sangat bersemangat. Belajar ini, belajar itu. Kejar kesempatan ini dan itu. Sekarang, mereka hanya mengelola apa yang ada dan apa yang bisa dijangkau dengan mudah.
Beberapa bulan berlalu, dengan Sarah bergabung, tim menjadi hidup. Ide-ide anak muda memang luar biasa.
Sampai suatu hari, Sarah datang untuk pamit. Memang tidak masalah karena masih dalam masa percobaan. Tetap saja, semua terdiam sejenak. "Masih ada sisa waktu, tidak buru-buru, kok," lanjutnya, dan Sarah dengan senang hati akan mendampingi staf baru sebelum benar-benar keluar.
Masing-masing tampaknya punya pikiran sendiri. Apakah Sarah tertekan dan jenuh? Apakah kita terlalu banyak memberikan tugas? Bagaimana dengan apa yang telah kita rencanakan? Apakah komunikasinya terlalu intens? Apakah tidak ada harapan berkembang di sini? Apakah kita kurang menghargai kontribusinya? Apakah industri ini terlalu melelahkan?
Di sudut sana, Rifti tampak cukup sedih. Bagaimanapun, mereka sudah menjadi semacam teman setelah berbulan-bulan bekerja sama.
"Baiklah, Sarah, kalau memang ini keputusannya. Kami akan mencoba memahami," jawab Sarwo, selayaknya mentor yang tabah.
Sayangnya, ketabahan ini tidak benar terbukti. Ia seperti terkesan memikirkan sesuatu, berbicara sendiri bahwa kita harus perjuangkan Sarah kembali, tolong jangan pergi, lalu kembali tampak kebingungan.
Sarwo sudah lama tidak melakukan sesuatu yang luar biasa. Dan, ini mungkin sudah saatnya.